Jakarta (ANTARA) – Pakar Industri Otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menilai penerapan bahan bakar bioetanol E10 tidak memberikan pengaruh bagi penjualan kendaraan listrik di tanah air.
“Sebenarnya, bioetanol dan EV tidak bersaing untuk segmen pengguna yang ada saat ini, meski sama-sama mengedepankan ramah lingkungan,” kata Yannes Martinus Pasaribu kepada ANTARA, Rabu.
Menurut dia, isu ramah lingkungan belum menjadi daya tarik utama masyarakat, sementara kebijakan ini justru mendorong konsumen menengah ke bawah beralih ke mobil bekas yang kompatibel dengan E10.
“Segmen ini, yang dipaksa secara finansial tidak mampu membeli EV baru yang mahal dan secara praktis terhalang oleh minimnya infrastruktur di luar kota besar, sehingga, solusi paling rasional bagi mereka adalah lari ke pasar mobil bekas ICE yang lebih muda dan sudah kompatibel dengan bioetanol E10,” jelas dia.
Memang, penggunaan bioetanol 10 persen tidak memiliki kecocokan untuk kendaraan tahun 2000 ke bawah.
Hal ini dikarenakan karena material selang, seal, pompa, injektor, serta kalibrasi ECU belum mendukung untuk kendaraan tersebut “meminum” energi tersebut.
Baca juga: Pakar nilai E10 langkah strategis perkuat kemandirian energi nasional
Sementara untuk kandungan etanol sebesar 5 persen, masih bisa diterima dengan seluruh kendaraan baik model lama maupun baru. Meski demikian, pemilik harus melakukan sedikit modifikasi terkait selang, seal, diafragma pompa yang harus kompatibel dengan karakteristik etanol.
Untuk semakin meyakinkan pemilik kendaraan roda dua maupun roda empat, pemilik disarankan untuk kembali membuka dan mencermati buku panduan (manual book) yang diberikan oleh masing-masing pabrikan.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia masih dalam tahap penysunan peta jalan atau roadmap dalam pengimplementasian E10 atau bahan bakar minyak (BBM) yang mengandung etanol sebesar 10 persen.
Menurut dia, rencana untuk mengembangkan E10 berangkat dari keberhasilan pemerintah mengimplementasikan biodiesel, dari yang semula B10 atau campuran 10 persen minyak mentah sawit (crude palm oil atau CPO) dengan 90 persen solar untuk bahan bakar diesel.
Kebijakan biodiesel tersebut sudah berkembang hingga B40. Bahkan untuk 2026, pemerintah menargetkan pengimplementasian B50. Menteri ESDM menjelaskan implementasi E10 masih menunggu persiapan pabrik etanol, baik yang berbahan baku tebu maupun singkong.
Langkah tersebut selaras dengan arahan Presiden Prabowo Subianto soal pembangunan industri etanol.
Baca juga: Pakar: BBM E10 tingkatkan efisiensi mesin hingga 30 persen
Baca juga: Gaikindo dukung rencana pemerintah terapkan BBM E10
Pewarta: Chairul Rohman
Editor: Indriani
Copyright © ANTARA 2025