Berita

Pakar nilai E10 langkah strategis perkuat kemandirian energi nasional

×

Pakar nilai E10 langkah strategis perkuat kemandirian energi nasional

Sebarkan artikel ini


Jakarta (ANTARA) – Pakar Industri Otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menilai rencana pemerintah dalam menerapkan Bahan Bakar Minyak (BBM) E10 atau pencampuran Ethanol sebanyak 10 persen, merupakan langkah strategis untuk memperkuat kemandirian energi nasional dan mengurangi ketergantungan akan impor.

“Upaya masuk ke E10 secara konseptual ideal, sebab di atas kertas bisa mendukung pengurangan impor BBM sampai dengan 70 persen, menurunkan emisi CO sampai 20-30 persen, hidrokarbon 10 persen, serta partikel hingga 40 persen tanpa modifikasi,” kata Yannes saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Rabu.

Kebijakan ini secara konseptual, kata dia, sangat ideal karena mampu memberikan manfaat ekonomi, lingkungan, sekaligus sosial. Ia memperkirakan penerapan E10 juga dapat menciptakan lebih dari 80.000 lapangan kerja baru di sektor pertanian melalui pengembangan bahan baku bioetanol, seperti tebu dan kelapa sawit.

Di sisi lain, kendaraan keluaran tahun 2010 ke atas, menurut Yannes, pun sudah siap mengkonsumsi E10 karena memiliki material tahan etanol, sistem injeksi modern, dan mesin standar emisi Euro 4 hingga Euro 5.

BBM dengan campuran etanol ini juga memiliki angka oktan yang lebih tinggi, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pembakaran hingga 30 persen dan mencegah gejala knocking pada mesin.

“Untuk mobil tahun 2010 ke atas, penambahan etanol memberikan efek positif. Angka oktan yang lebih tinggi bisa mencegah knocking dan meningkatkan efisiensi pembakaran hingga 20–30 persen. Desainnya memang disiapkan untuk konsumsi bahan bakar beretanol hingga E10, bahkan lebih.” ujar Yannes.

Baca juga: Pakar: BBM E10 tingkatkan efisiensi mesin hingga 30 persen

Namun, Yannes menambahkan kesiapan produksi etanol dalam negeri masih menjadi tantangan besar.

“Jika kita mengonsumsi sekitar 37,9 juta kiloliter bensin per tahun dan akan memakai nol persen etanol dalam bensin, berarti kita butuh 3,79 juta kiloliter etanol, sedangkan kapasitas produksi molase tebu dan produk sampingan kelapa sawit tahun 2024 baru sekitar 0,006 juta kiloliter,” imbuhnya.

Kondisi ini berpotensi menimbulkan persaingan lahan dengan sektor pangan serta mendorong kenaikan harga BBM jika harus mengandalkan impor etanol.

Yannes menegaskan, untuk mencapai kemandirian energi secara ideal, kebijakan transisi harus berbasis potensi wilayah dan menggunakan pendekatan multijalur agar hasilnya efisien dan berkelanjutan.

Saat ini, pemerintah masih menyusun peta jalan atau roadmap pengimplementasian E10. Rencana untuk mengembangkan E10 berangkat dari keberhasilan pemerintah mengimplementasikan biodiesel, dari yang semula B10 atau campuran 10 persen minyak mentah sawit (crude palm oil/CPO) dengan 90 persen solar untuk bahan bakar diesel.

Kebijakan biodiesel tersebut sudah berkembang hingga B40. Bahkan untuk 2026, pemerintah menargetkan pengimplementasian B50.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjelaskan implementasi E10 masih menunggu persiapan pabrik etanol, baik yang berbahan baku tebu maupun singkong. Langkah tersebut selaras dengan arahan Presiden Prabowo Subianto soal pembangunan industri etanol.

Baca juga: Gaikindo dukung rencana pemerintah terapkan BBM E10

Baca juga: Enero siap dukung komitmen pemerintah soal E10 pada BBM

Pewarta:
Editor: Indriani
Copyright © ANTARA 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

formasi agar modal tahan lama di mahjong wins situs gacormahjong ways berikan pecahan besar tak terhinggapemuda jakut dapat tas lv berkat mahjong winsroni anak jakut bawa cash ratusan juta maxwin mahjong wayssituasi sudah kondusif scatter mahjong wins peluang indahslot gacor