Jakarta (ANTARA) – Istilah OTT KPK kembali menjadi sorotan publik menyusul penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel “Noel” Ebenezer. Penangkapan tersebut dilakukan melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu malam 20 Agustus 2025.
Kasus ini menambah daftar panjang pejabat negara yang terjerat dugaan korupsi melalui operasi serupa. Peristiwa tersebut juga memicu kembali perhatian masyarakat terhadap praktik penegakan hukum oleh KPK. Lantas, apa artinya? Simak penjelasannya berikut ini.
Apa itu OTT KPK?
OTT merupakan singkatan dari Operasi Tangkap Tangan, suatu metode penegakan hukum yang digunakan ketika aparat, dalam hal ini KPK, menangkap seseorang saat sedang melakukan tindak pidana atau segera sesudah peristiwa itu terjadi. Definisi ini tercantum dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Lebih lanjut, OTT sering kali dilakukan saat transaksi suap atau gratifikasi sedang berlangsung. Tindakan ini memberikan bukti konkret sekaligus memastikan kejelasan pelanggaran hukum yang dilakukan.
Baca juga: Sosok Wamenaker Immanuel Ebenezer yang terjaring OTT KPK
Tujuan dilakukannya OTT
• OTT KPK memiliki beberapa tujuan strategis:
• Menangkap pelaku langsung saat tindak korupsi terjadi sehingga bukti lebih valid dan akurat.
• Mencegah pelarian pelaku dan perusakan bukti dengan aksi dilakukan secara cepat dan terukur.
• Memberikan efek jera kepada pelaku dan publik sebagai bentuk ancaman bagi potensi koruptor.
• Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK dan efektivitas penegakan hukum.
Baca juga: KPK: OTT eks Wamenaker bermula dari laporan dan penyidikan kasus RPTKA
Dasar HKP hukum OTT oleh KPK
Pelaksanaan OTT oleh KPK merujuk pada ketentuan hukum yang jelas:
KUHAP:
• Pasal 102 ayat (2) dan (3): Menyatakan bahwa jika seseorang tertangkap tangan, penyelidik harus segera melakukan tindakan penyelidikan dan membuat laporan resmi (berita acara).
• Pasal 1 angka 19 KUHAP: Mendefinisikan “tertangkap tangan” sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (diubah oleh UU No. 19 Tahun 2019):
• Memberikan wewenang kepada KPK untuk melakukan penangkapan, termasuk OTT, dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.
• Pasal 12 menekankan kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan dan rekaman elektronik guna mendukung OTT.
UU Tipikor (No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001):
• Menegaskan bahwa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi oleh KPK dilakukan berdasarkan KUHAP dan UU Tipikor, kecuali diatur lain dalam UU KPK.
Dengan demikian, OTT KPK merupakan instrumen hukum penting dalam pemberantasan korupsi yang efektif. Dilakukan berdasarkan ketentuan KUHAP dan UU KPK, metode ini terbukti memberikan efek langsung, bukti konkret, dan memperkuat kepercayaan masyarakat.
Meski kontroversi muncul terkait aspek penyadapan dan privasi, landasan hukum yang jelas dan manfaat penegakan hukum yang dihasilkannya meletakkan OTT sebagai metode yang sah dan esensial bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Baca juga: KPK sudah tetapkan tersangka terkait OTT Wamenaker
Baca juga: Berapa harta kekayaan Immanuel Ebenezer?
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.